Senin, 27 Desember 2010

perusahaan pariwisata dengan pengusaha tambak

Contoh kasus 1 :


Beberapa puluh tahun yang lalu, di Indonesia terdapat hutan mangrove yang sangat luas. Hutan mangrove pada masa itu banyak memberikan manfaat kepada para penduduk dan nelayan disekitarnya sebagai penahan ombak dan angin kencang sehingga pantai terhindar dari abrasi. Selain itu daerah ini merupakan tempat berlindung binatang air seperti udang dan ikan dari pemangsa (predator), untuk bertelur dan berganti kulit. Banyak burung bersarang dan bertelur di tempat ini sehingga menambah asrinya suasana di sekitar pantai tersebut. Pada masa itu penduduk sangat mudah mencari ikan dan udang di sekitar mangrove. Suasana ini berubah drastis pada tahun-tahun terakhir ini, dimana banyak perusahaan yang membuka usaha tambak dengan membabat habis ratusan dan bahkan ribuan hektar hutan mangrove untuk dijadikan tambak intensif.

Parahnya lagi, perusahaan tersebut membuat unit sumur dalam (deep well) dengan kedalaman mencapai 100 meter. Air tawar digunakan untuk mengurangi salinitas air laut agar menjadi kondisi payau ramah bagi pertambakan udang. Akibat penyedotan air tanah yang terus menerus dalam jumlah yang besar, terjadi infiltrasi air laut ke dalam sumur penduduk sekitar sehingga tidak layak di konsumsi.

Mulai masa inilah sedikit demi sedikit mulai timbul masalah yang dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti kualitas air laut yang menurun akibat proses produksi tambak yang tidak ramah lingkungan, abrasi dan erosi pantai yang mengkhawatirkan, menurunnya hasil tangkap nelayan pesisir, yang secara keseluruhan, mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Oleh karena itu terjadi penurunan produksi tambak sehingga banyak perusahaan tambak yang merugi. Puncaknya terjadi pada tahun 1997 dimana terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia. Harga pakan melambung tinggi sedangkan harga jual udang dan bandeng sangat rendah. Inilah yang menyebabkan sebagian besar perusahaan tambak di Indonesia mengalami kebangkrutan dan akhirnya gulung tikar. Permasalahan-permasalahan utama berhubungan dengan kegagalan usaha pertambakan adalah kelemahan dalam aspek perencanaan. Rencana sering tidak memperhitungkan lebih dahulu:

  1. faktor lingkungan alam, sosial, ekonomi dan kemungkinan konflik dengan pemakai Sumber Daya Alam (SDA) lain;

  2. (ii) kondisi fisik lokasi yang tidak memenuhi persyaratan dasar untuk kriteria pertambakan misalnya tingkat kesuburan tanah, kadar zat sulfida, sumber air tawar yang cukup, dan tingkat pasang-surut air laut; dan

  3. masukan dari penyuluh teknis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam tahap pemilihan dan desain lokasi.

    Agar kelestarian alam dan kelangsungan hidup manusia sekitarnya tidak dikorbankan, aturan-aturan yang sudah dibuat perlu ditegaskan. Perijinan untuk usaha pertambakan harus berdasar pada perencanaan yang mantap dan teknologi ramah lingkungan. Dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem pesisir ketika membuka tambak, akan mempengaruh secara positif keberlangsungan hidup organismem disekitarnya dan secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan penghasilan petani tambak itu sendiri.


http://id.shvoong.com/exact-sciences/1639793-haruskah-tambak-merusak-ekosistem-pesisir/


Contoh Kasus 2:


Pesisir pantai Kolaka tercemar lumpur merah akibat tambang. Nelayan dan petambak teripang menjerit. PADANG lumpur terbentang sepanjang pesisir pantai Desa Tambea, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Tak ada debur ombak dan pasir pantai lagi di sana pada akhir Desember lalu. Perahu-perahu nelayan teronggok di dekat dermaga kayu kecil yang tegak di atas lumpur kecokelatan.

Dulu sepanjang pesisir pantai itu menjadi lahan besar tambak teripang— bonanza warga desa—seperti halnya rumput laut dan ikan. Namun, setelah para pemilik pertambangan nikel membangun dermaga sendiri-sendiri di sepanjang pesisir pantai itu dan menumpuk barang tambangnya begitu saja, pantai pun tercemar dan teripang pun punah.

”Dulu sekali panen teripang bisa dapat Rp 40 juta per hektare. Panennya setiap enam bulan. Kini tak ada lagi teripang yang bisa hidup,” kata Bahar, nelayan yang menetap di desa itu sejak lahir.

Sekretaris Desa Tambea, H. Mursalin, mengakui bahwa lumpur tambang itu telah mencemari tambak teripang penduduk. ”Para pemancing tradisional juga terganggu. Kalau biasanya kami bisa dapat dua-tiga tusu, kini satu pun susah,” katanya. Satu tusu setara dengan 6-7 ekor ikan seukuran tiga jari.

Usman, warga Desa Tambea dan anggota Forum Swadaya Masyarakat Daerah, menyatakan bahwa mereka pernah mengukur endapan lumpur di Teluk Sopura yang dalamnya hingga 3 meter. ”Dampak lumpur itu terlihat nyata di tiga desa di pesisir ini, yakni Tambea, Hakatutobu, dan Toturo,” katanya.

Hasil penyelidikan tim Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kendari juga menyimpulkan telah terjadi limpasan lumpur yang berasal dari bekas penambangan yang mengeruhkan area budi daya teripang dan mematikan organisme budi daya laut. Akibatnya, kadar oksigen terlarut air laut menurun.

Menurut warga, perusahaan-perusahaan yang menambang atau mengapalkan barang tambang di sana hanya mengumbar janji sebagai kompensasi terhadap dampak kegiatan mereka. ”Tapi selama ini janjinya tak dipenuhi,” kata Bahar.

Kerusakan tambak teripang, kata Bahar, juga diganti seadanya. Perusahaan membayar ganti rugi sekitar Rp 35 juta untuk setiap satu hektare lahan tambak yang rusak. Menurut Bahar, lahan itu akan kembali menjadi milik warga bila nanti perusahaan itu berhenti beroperasi. ”Namun, untuk saat ini kami berharap warga dapat dipekerjakan, karena kegiatan tambak teripang sudah tidak bisa dilakukan,” katanya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara M. Hakku Wahab menyatakan bahwa kerugian dan dampak lingkungan dari pertambangan ini terjadi karena lemahnya pengawasan. ”Selayaknya di setiap lokasi kuasa pertambangan itu terdapat kantor pertambangan untuk mengawasinya,” kata dia.

Kuasa pertambangan itu pun sebenarnya belum layak untuk beroperasi di sana. ”Izin prinsip mereka tidak punya. Mereka cuma mengandalkan izin dari bupati,” kata Usman.

DPRD Kabupaten Kolaka pernah membentuk panitia khusus pada 2008 untuk menyelidiki perizinan pertambangan yang dimiliki sembilan kuasa pertambangan. Panitia khusus yang diketuai legislator Rustam Sabona itu menyimpulkan bahwa semua perusahaan itu bermasalah dalam perizinan.

Parmin Dasir, Ketua DPRD Kolaka, berjanji akan memperjuangkan nasib para nelayan di Kolaka yang menderita. ”Baik eksekutif, legislatif, maupun kuasa pertambangan harus duduk bersama untuk membahas masalah ini. Bila memang sesuai, mengapa tidak dikeluarkan peraturan daerah yang menetapkan daerah ini dapat apa dan dapat berapa, misalnya,” kata dia.

Pemerintah provinsi, kata Hakku Wahab, berencana menata kembali outlet pertambangan di Bombana, Kolaka, Kolaka Utara, dan Konawe. Outlet ini akan menjadi satu-satunya pintu keluar bagi ekspor hasil tambang, sehingga memudahkan pengawasan. ”Kalau setiap perusahaan membangun outlet sendiri dengan membangun dermaga ekspor masing-masing, bagaimana kami mengawasinya?” kata dia.



http://m3sultra.wordpress.com/2010/01/11/tambak-teripang-berkubang-lumpur/

Contoh kasus 3 :

Kegiatan proyek pembangunan wisata pantai yang berada diwilayah Pelabuhan Sukajaya sesuai dengan rencana tata ruang kabupaten Sukajaya yang berada dalam wilayah pembangunan dengan peruntukan kawasan industri, pelabuhan dan sarana pendukungnya. Lokasi proyek berada sekitar 8 Km dari jalan arteri Semarang Sukajaya dan sekitar 12 Km dari Kawasan Industri PT. Marine Lestari yang berada didesa Kartikamakmur.

Lahan untuk kawasan proyek berupa tambak ikan yang sudah terkena abrasi dan sebagian tambak produktif, luas lahan adalah 25 ha disebelah barat kawasan pelabuhan Sukajaya, 15 ha disebelah timur kawasan pelabuhan untuk Jetty, kios souvenir, restoran apung, water boom, aquarium raksasa, dan pasir putih

2.1.2. Tahapan Rencana Kegiatan

Guna kepentingan studi AMDAL, semua kegiatan yang menyangkut perubahan tata guna lahan secara garis besar dapat diketegorikan dalam tiga tahap kegiatan, yaitu tahap prakontruksi, kontruksi dan pascakontruksi.

2.1.2.1. Kegiatan Tahap Pra Konstruksi

  • Survei dan perijinan

  • Sosialisasi Rencana Kegiatan

  • Pengadaan lahan

2.1.2.2. Kegiatan Tahap Konstruksi

  • Recruitmen Tenaga Kerja

  • Mobilisasi Peralatan dan Material

  • Pematang Lahan

  • Pembangunan fisik bangunan

  • Pemasangan Peralatan

2.1.2.3. Kegiatan Tahap Operasional

  • Pengoperasian wisata pantai

2.2. Dampak penting yang dikelola

2.2.1. Prakonstruksi

· Survei dan perijinan

Kegiatan ini dapat menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan pengaruh proyek terhadap produksi, ganti rugi yang tidak sesuai dan limbah yang akan ditimbulkan, kekhawatiran ini dapat berkembang menjadi persepsi negative terhadap kegiatan proyek.

  • Sosialisasi Rencana Kegiatan

Kegiatan sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemrakarsa proyek diharapkan dapat menjelaskan aktivitas proyek sehingga masyarakat desa Mugimakmur dan desa Sukasejahtera dapat mengetahui secara pasti rencana kegiatan dan dapat segera mempersiapkan diri agar turut dapat berpartisipasi dalam aktifitas proyek.

  • Pengadaan lahan

Proses pengadaan lahan diwilayah desa sukasejahtera sejumlah 25Ha dan desa mugimakmur sejumlah 15Ha akan dapat memunculkan spekulan dan kekhawatiran masyarakat tentang nilai ganti rugi tambak. Tambak yang akan diurug lebih dari 50% ternyata sudah berupa laut, karena pengaruh abrasi, sehingga para pemilik tambak yang sudah berubah menjadi laut tidak akan merasa keberatan dibeli oleh proyek.

2.2.2. Konstruksi

· Recruitmen Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses kontruksi adalah sekitar 150 orang buruh bangunan, 5 orang tenaga pelaksana dan 2 orang site manajer (sarjana). Tenaga kerja ini akan diprioritaskan dari masyarakat sekitar untuk buruh bangunan.

· Mobilisasi Peralatan dan Material

Aktifitas mobilisasi peralatan dan material tidak akan mengganggu masyarakat sekitar Karena menggunakan jalan lingkar Semarang-SukaJaya yang berupa tanah tegalan dan tambak, belum ada pemukiman. Kebutuhan tanah untuk reklamasi perlu dilakukan analisa lebih jauh untuk mengurangi dampak yang akan terjadi.

· Pematang Lahan

Kegiatan pematangan lahan (reklamasi) pantai seluas 40 ha akan merubah fungsi lahan yang berupa tambak. Peralihan fungsi lahan ini akan mempengaruhi produktifitas lahan lainnya yang berada disekitar tapak proyek.

  • Pembangunan fisik bangunan

Pembangunan fisik bangunan akan menurunkan kualitas lingkungan ynag berupa kulaitas udara, kebisingan, dan penurunan kualitas air laut. Pada akhirnya penurunan kualitas lingkungan tersebut akan berlanjut terhadap pendapatan masyarakat nelayan, penurunan produksi tambak dan penurunan kenyamanan serta persepsi negative terhadap proyek.

  • Pemasangan Peralatan

Pemasangan peralatan akan sama dampaknyadengan pembangunan fisik bangunan. namun dalam skala yang lebih rendah karen waktu pemasangannya yang relatif lebih cepat dibanding waktu pembangunan fisik lainnya.

2.2.3. Operasional

  • Pengoperasian wisata pantai

Pengoperasian wisata pantai merupakan aktifitas pendukung yang diharapkan mampu mengacu perkembnagna wilayah sekitar dan memberikan peluang pada masyarakat sekitar untuk mengembangkan usaha dan berpartisipasi dalam kegiatan wisata pantai.

Pengoperasian wisata pantai merupakan aktifitas pendukung yang diharapkan mampu mengacu perkembnagna wilayah sekitar dan memberikan peluang pada masyarakat sekitar untuk mengembangkan usaha dan berpartisipasi dalam kegiatan wisata pantai. sehingga diharapkan dampak yang akan muncul adalah dampak positif.

Kegiatan wisata umum meliputi :

· Aquarium raksasa

· Water Boom

· Retoran terapung

· Kios Souvenir

· Area pasir putih

http://anemoritosu.wordpress.com/2008/07/04/amdal/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Look StudentSite Gunadarma